Meluruskan fitnah kubro kaum kafir tentang
pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah maka diperlukan jawaban yang
menyeluruh dengan pemikiran yang sejuk. Fitnah semacam pertanyaan ini muncul
mengingat adanya beberapa hadits yang keliru dalam mengisahkan pernikahan Nabi
Muhammad dengan Siti Aisyah. Bahkan tidak hanya kaum kafir, kebanyakan kaum muslim
juga salah persepsi dan salah dasar dalam menceritakan tentang pernikahan Nabi
Muhammad dengan Siti Aisyah. Ironis memang.
Ada banyak hadits yang menceritakan tentang pernikahan
Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah, di antara sekian hadits tersebut, ada beberap
hadits yang bermasalah, yang diragukan kebenarannya. Maka sebagai muslim, kita
harus berhati-hati dalam memakai hadits sebagai dasar pegangan.
Al Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah
seorang teladan yang terbaik.
Jadi kalau ada hadits yang keliru dalam
mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad, maka kita tinggalkan hadits tersebut,
kembali kepada Al Qur’an.
Berikut beberapa bukti dan hadits yang harus di
uji:
1. PENGUJIAN TERHADAP PERAWI HADITS SEBAGAI
SUMBER
Kebanyakan hadits yang menceritakan pernikahan
Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah diriwayatkan oleh Hisham bin ‘Urwah, yang
mencatat atas otoritas dari bapaknya. Seharusnyan minimal oleh 2 atau 3 orang
yang meriwayatkan sebuah hadits yang serupa. Aneh sekali bahwa tidak ada
seorangpun di Madinah, dimana Hisham bin ‘Urwah tinggal sampai usia 71 tahun,
baru menceritakan kisah ini.
Padahal pada waktu itu masih ada banyak murid
dari para sahabat Nabi Muhammad yang hidup, salah satunya Malik bin Anas,
selama hidupnya tidak pernah mengisahkan hadits tersebut. Asal mula kisah
tentang pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah adalah dari orang-orang
Iraq, tempat dimana Hisham bin ‘Urwah tinggal setelah pindah dari Madinah di
usianya yang sudah lanjut.
Menurut Yaqub bin Shaibah dalam salah satu buku
Tehzi’bu’l-tehzi’b: “Hisham bin ‘Urwah sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat
diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq.”
(Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibnu Hajar Al-‘asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami,
15th century. Vol 11, p.50).
Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik bin
Anas menolak riwayat Hisham bin ‘Urwah yang di catat dari orang-orang Iraq.
Dimana dikatakan: “Saya pernah di kasih tau bahwa Malik bin Anas menolak
riwayat Hisham bin ‘Urwah, yang di catat dari orang-orang Iraq.”
(Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibnu Hajar Al-‘asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami,
15th century. Vol 11, p.50).
Dalam buku lain, Mizanu’l-ai’tidal, salah satu
buku yang juga menceritakan kehidupan Nabi Muhammad, disebutkan: “Ketika di
masa usia tua, ingatan Hisham bin ‘Urwah mengalami kemunduran yang mencolok.”
(Mizanu’l-ai’tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhpura, Pakistan,
Vol. 4, p.301).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka riwayat
dari Hisham bin ‘Urwah tentang pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah
sudah tidak kredibel dan tidak dapat dipercaya lagi. Mengingat di usia
lanjutnya, Hisham bin ‘Urwah, sangat diragukan ingatannya.
2. NABI MUHAMMAD MEMINANG SITI AISYAH
Sangat vital dan penting untuk mencatat dan
mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam, yaitu dimana dikatakan: masa
jahiliyah (pra Islam) sebelum turunnya wahyu pra-610 M; turun wahyu pertama Abu
Bakar menerima Islam tahun 610 M; Nabi Muhammad memulai dakwah ke masyarakat
tahun 613 M; Hijrah ke Abyssinia tahun 615 M; Umar bin Khattab menerima Islam tahun
616 M; dikatakan Nabi Muhammad meminang Aisyah tahun 620 M; Hijrah ke Madinah tahun
622 M; dikatakan Nabi Muhammad berumah tangga dengan Aisyah tahun 623/624 M.
Menurut Al Tabari, Hisham bin ‘Urwah, Ibnu
Hunbal, dan Ibnu Sad, Aisyah dipinang oleh Nabi Muhammad saat usianya 7 tahun
dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi di bagian lain, Al Tabari
mengatakan: “Semua anak Abu Bakar (4 orang, termasuk Aisyah) dilahirkan pada
masa jahiliyah dari 2 istrinya.” (Tarikhu’l-umam wal-mamlu’k, Al Tabari, Vol.
4, p.50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).
Jika Aisyah dipinang di tahun 620 M (umur 7
tahun) dan berumah tangga (dinikahi Nabi Muhammad) di tahun 623/624 M (umur 9
tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada tahun 613 M. Sedangkan
berdasarkan riwayat Al Tabari sendiri, bahwa Aisyah dilahirkan pada masa jahiliyah,
yaitu sebelum tahun 610 M. Yang mana usia Aisyah adalah 13/14 tahun saat
dinikahi Nabi Muhammad.
Yang manapun 2 riwayat dari Al Tabari ini
dipakai, sudah jelas riwayat Al Tabari mengalami kontradiksi.
3. PERBANDINGAN UMUR AISYAH DAN FATIMAH
Ibnu Hajar meriwayatkan: “Fatimah (putri Nabi
Muhammad) dilahirkan ketika Ka’bah direnovasi/dipugar kembali, ketika Nabi
Muhammad berusia 35 tahun......., Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah.”
(Al-isbah fi tamyizi’l-sahabah, Ibnu Hajar al-asqalani, Vol.4, p.377,
Maktabatul-Riyadh al haditha, al-Riyadh, 1978).
Apabila riwayat Ibnu Hajar valid, berarti
Aisyah dilahirkan ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Sedangkan usia Nabi
Muhammad saat menikahi Aisyah adalah 52 tahun, maka usia Aisyah saat menikah adalah
12 tahun.
Jelas dalam hal ini riwayat Ibnu Hajar, Al
Tabari, dan Hisham bin ‘Urwah saling kontradiksi. Tetapi sangat jelas bahwa
riwayat Aisyah menikah di usia 9 tahun adalah mitos tak berdasar.
4. PERHITUNGAN UMUR AISYAH DENGAN ASMA’
Menurut Abdal Rahman bin Abi Zanna’d: “Usia
Asma’ (kakak Aisyah) lebih tua 10 tahun dibandingkan dengan usia Aisyah.”
(Siyar A’la’mal-nubula’, Al-Zahabi, Vol.2, p.289, Arabic, Mu’assasatul-risalah,
Beirut, 1992).
Menurut Ibnu Kathsir: “Usia Asma’ lebih tua
dari adiknya (Aisyah).” (Al-Bidayah wal-nihayah, Ibnu Kathsir, Vol.8, p.371,
Dar al-fikr al-‘arabi, Al-jizah, 1993).
Juga menurut Ibnu Kathsir: “Asma’ melihat
pembunuhan anaknya pada tahun 73 H dan 5 hari kemudian Asma’ meninggal. Menurut
riwayat lain Asma’ meninggal 10 atau 20 hari kemudian, ada beberapa riwayat
mengatakan Asma’ meninggal 100 hari kemudian. Pada saat Asma’ meninggal, dia
berusia 100 tahun.” (Al-Bidayah wal-nihayah, Ibnu Kathsir, Vol.8, p.372, Dar
al-fikr al-‘arabi, Al-jizah, 1993).
Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani: “Asma’ hidup
sampai usia 100 tahun dan meninggal pada tahun 73/74 H.” (Tehzi’bu’l-tehzi’b,
Ibnu Hajar Al-‘asqala’ni, p.654, Arabic, Bab Fi’il-nisa’, al-harful-alif,
Lucknow).
Sedangkan menurut sebagian ahli sejarah, Asma’
berselisih 10 tahun dengan Aisyah.
Jika Asma’ meninggal di usia 100 tahun pada
tahun 73 H, maka seharusnya Asma’ berusia 27/28 tahun saat hijrah ke Madinah
tahun 622 M. Jika Asma’ berusia 27/28 tahun saat hijrah (saat Aisyah berumah
tangga), maka Aisyah seharusnya saat itu berusia 17/18 tahun, karena usia Asma’
dengan Aisyah terpaut 10 tahun. Dengan kata lain, saat Aisyah berumah tangga
(menikah) dia berusia 17/18 tahun.
Berdasarkan riwayat di atas (Ibnu Hajar, Ibnu
Kathsir, dan Abdal Rahman) usia Aisyah saat menikah adalah 17/18 tahun.
Pada penjelasan no 3, Ibnu Hajar memperkirakan
usia Aisyah 12 tahun saat menikah. Sedangkan menurut penjelasan di atas, Ibnu
Hajar mengatakan usia Aisyah saat menikah adalah 17/18 tahun. Disini jelas Ibnu
Hajar kontradiksi dengan periwayatannya sendiri.
5. TERJADINYA PERANG BADAR DAN UHUD
Dalam hadits Muslim (Kitabul-jihad wal-siyar,
Bab Karahiyatil-isti’anah fil-ghazwi bikafir) menceritakan tentang peran Aisyah
dalam peran Badar. Diriwayatkan dari Bukhari (Kitabul-jihad wal-siyar, Bab
Ghazwil-nisa’ wa qitalihinnam’alrijal) bahwa: “Anas mencatat bahwa pada hari
perang Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri di dekat Rasulullah. Saya melihat
Aisyah dan Ummi Sulaim dari jauh, mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya
[untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut].”
Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut
serta dalam perang Badar dan Uhud.
Diriwayatkan juga dari Bukhari (Kitabul-magazi,
Bab Ghazwatil-khandaq wa hiyal-ahzab) bahwa: Ibnu Umar menyatakan bahwa
Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpartisipasi dalam perang Uhud, pada
saat itu usia Ibnu Umar masih 14 tahun. Tetapi ketika terjadi perang Khandaq,
usia Ibnu Umar adalah 15 tahun, Rasulullah mengijinkan dia ikut dalam perang
Khandaq tersebut.”
Berdasarkan riwayat diatas, yang diperbolehkan
mengikuti perang adalah mereka-mereka yang sudah berusia 15 tahun ke atas.
Karena fungsinya adalah untuk membantu perjuangan dalam perang, bukan untuk
menambah beban dalam peperangan. Sedangkan Aisyah sudah ikut berperan dalam
perang Badar dan Uhud. Hal ini mengindikasikan bahwa saat terjadi perang Badar
dan Uhud, usia Aisyah bukan 9 tahun, tapi sudah di atas usia 15 tahun. Perang
Khandaq terjadi beberapa tahun setelah perang Badar dan Uhud.
6. SURAT AL QOMAR
Surat ke-54 dalam Al Qur’an ini diturunkan pada
tahun ke-8 sebelum peristiwa hijirah ke Madinah (The Bounteous Korab, M.M.
Khatib, 1985), dengan kata lain surat tersebut turun pada tahun 614 M. Jika
Aisyah dikatakan sudah memulai berumah tangga dengan Rasulullah pada usia 9
tahun di tahun 623 M atau tahun 624 M, maka Aisyah saat surat Al Qomar
diturunkan masih bayi yang baru lahir.
Dalam riwayat dari Bukhari bahwa Aisyah
mengatakan “Saya seorang gadis muda ketika surat Al Qomar diturunkan” (Sahih
Bukhari, kitabul tafsir, Bab Qaulihi Bal al sa’atu Maw’iduhum wal sa’atu adha’
wa amarr).
Jadi sudah jelas bahwa Aisyah adalah seorang
gadis muda (usia antara 14-17 tahun) bukan bayi saat Al Qomar diturunkan, yaitu
Aisyah berusia 6-11 tahun saat surat Al Qomar turun. Dengan kata lain, saat
Aisyah berumah tangga dengan Rasulullah, usianya bukan lagi 9 tahun.
7. TERMINOLOGI BAHASA ARAB
Menurut riwayat Ahmad Ibnu Hanbal, sesudah
meninggalnya istri pertama Rasulullah (Khadijah), Khaulah datang kepada
Rasulullah dan menasehati beliau untuk menikah lagi. Rasulullah bertanya
tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata “Anda dapat
menikahi seorang gadis (Bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah atau
janda (Thayyib).” Ketika Rasulullah bertanya tentang identitas gadis (Bikr)
tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yg paham bahasa Arab, akan melihat
kata Bikr tidak digunakan untuk gadis belia usia 9 tahun. Kata yg tepat untuk
gadis usia 9 tahun adalah Jariyah. Sedangkan Bikr digunakan untuk menyebut seorang
wanita yg sudah siap menikah, tapi belum pernah menikah. Dalam bahasa Inggris
biasa disebut “virgin”. (Musnad Ahmad bin Hanbal, vol.6, p.210, Arabic, Dar
Ihya al turath al arabi, Beirut).
Maka dalam hal ini sudah jelas bahwa Aisyah
adalah seorang gadis dewasa saat memulai berumah tangga dengan Rasulullah.
8. TEXT AL QUR’AN
Seluruh muslim setuju bahwa Al Qur’an adalah
petunjuk dan pedoman hidup. Maka harus dilihat juga aturan dalam Al Qur’an yg
mengatakan tentang kedewasaan seseorang.
Allah berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 5-6:
“Dan janganlah kamu serahkan
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.”
“Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
persaksian itu).” (Q.S. An Nisa 5-6)
Disini Al Qur’an menyatakan
tentang butuhnya bukti yg teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan
fisik melalui hasil uji yg objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk
mempercayakan pengelolaan harta.
Dalam 2 ayat tersebut di atas,
sangat jelas, tidak ada seorangpun yg mau memberikan tanggung jawab tentang
pengelolaan harta atau keuangan kepada anak atau gadis belia usia dibawah 10
tahun.
Jika tidak ada seorangpun yg
mau mempercayakan tentang pengelolaan harta kepada gadis belia dibawah usia 10
tahun, maka begitu pula gadis tersebut tidak memenuhi syarat secara intelektual
maupun fisik untuk menikah. Aisyah yg diusia 9 tahun, pastilah tidak memenuhi
syarat untuk menikah. Karena usia 9 tahun akan lebih tertarik untuk bermain
daripada mengambil tugas sebagai istri. (Musnad Ahmad bin Hanbal, vol.6, p.33
and 99).
Karena itu sangatlah sulit
untuk mempercayai bahwa Abu Bakar, seorang tokoh muslim, akan menikahkan putri
gadisnya yg masih berusia dibawah 10 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan
bahwa gadis berusia di bawah 10 tahun mengemban tugas sebagai seorang istri.
Jadi sangat jelas bahwa Aisyah
memulai berumah tangga dengan Rasulullah bukan saat Aisyah berusia di bawah 10
tahun.
9. IJIN DALAM PERNIKAHAN
Seorang wanita harus ditanya
dan diminta persetujuannya agar pernikahannya yg dilakukan menjadi sah. Karena
itu merupakan syarat dasar bagi sahnya pernikahan. (Mishakat al Masabiah,
translation by James Robson, vol.1, p.665).
Dengan melihat kondisi logis
ini, persetujuan yg diberikan oleh gadis belum dewasa, berusia dibawah 10
tahun, tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Jadi sangat jelas disini,
bahwa Rasulullah tidak menikahi gadis berusia dibawah 10 tahun. Karena tidak
memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan. Oleh karena itu, hanya ada satu
kemungkinan bahwa Rasulullah menikahi Aisyah bukan saat Aisyah belum berusia 10
tahun. Saat Rasulullah menikahi Aisyah, Aisyah sudah menjadi seorang wanita yg
dewasa baik secara intelektual maupun fisik.
*Dari berbagai sumber
*Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar