Banyak orang bertanya mengapa kita masih butuh
ijtihad, padahal sudah ada Al Qur’an dan Hadits, dimana selama kita berpegang
teguh kepada keduanya, kita tidak akan sesat selamanya. Bahkan beberapa kaum
kafir selalu menuduh kalau Al Qur’an dan Hadits masih belum sempurna, karena
masih perlu penafsiran dan lain sebagainya.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka ada
beberapa jawaban yang dapat dikemukakan, antara lain :
1. HAKIKAT IJTIHAD
Ijtihad bukan tindakan untuk mengarang agama
dan menyerahkan segala urusan agama semata-mata kepada logika dan akal manusia
sambil meninggalkan Al Qur’an dan Hadits. Pemahaman ijtihad seperti ini tentu
keliru besar.
Pada hakikatnya, yang namanya ijtihad itu
justru 100% memegang teguh Al Qur’an dan Hadits. Dan tidaklah sebuah ijtihad
itu dilakukan, kecuali landasannya karena justru kita ingin menarik kesimpulan
hukum dari Al Qur’an dan Hadits.
Mungkin orang bertanya lagi, bukankah Al Qur’an
dan Hadits itu sudah jelas sekali, mengapa masih perlu ada ijtihad?
Jawabnya begini, memang tidak salah kalau
dikatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits itu sudah jelas, tetapi yang bisa dengan
mudah membaca Al Qur’an dan Hadits dengan jelas itu hanya kalangan tertentu, yaitu
hanya sebatas buat Rasulullah SAW dan para shahabat beliau yang tertentu saja.
Sebab memang keduanya turun di masa mereka hidup.
Sementara begitu beliau SAW dan para shahabat
wafat, dan Islam menyebar ke negeri jauh yang berbeda bahasa, budaya, adat,
serta berbagai realitas sosial lainnya, maka mulai muncul berbagai jarak. Tidak
semua pemeluk Islam paham bahasa Arab, bahkan tidak semua orang yang bermukim
di Madinah ratusan tahun sepeninggal Rasulllah SAW merupakan orang-orang yang
paham bahasa Arab.
Tidak usah jauh-jauh, sebagi contoh sederhana,
ketika Rasulullah SAW menakar makanan yang beliau keluarkan untuk membayar
zakat Al-Fithr, beliau menggunakan takaran yang disebut sha'. Sayangnya,
orang-orang di Baghdad tidak mengenal benda yang namanya sha' tersebut. Maka
para ulama di masa itu membuat sebuah penelitian, yang kira-kira memudahkan
orang mengenal berapa sebenarnya ukuran satu sha' itu. Nah inilah yang disebut
dengan ijtihad. Jelas sekali ijtihad itu justru dibutuhkan untuk memahami Al
Qur’an dan Hadits, bukan mengarang-ngarang dan main logika semata.
2. PERINTAH UNTUK BERIJTIHAD
Jangan dikira tindakan berijihad itu sekedar
sebuah ulah orang-orang kurang kerjaan yang niatnya mau menambah-nambahi agama.
Justru berijtihad itu adalah sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Al Qur’an
dan Hadits. Kedua sumber hukum Islam itu tidak melarang berijtihad, justru
sebaliknya, keduanya memerintahkan orang-orang yang memang punya keahlian untuk
berijtihad.
Melakukan ijtihad adalah salah satu di antara
sekian banyak perintah Allah dan Rasul-Nya kepada umat Islam, bukan semata-mata
inisiatif dan keinginan hawa nafsu. Di dalam Al Qur’an Allah SWT memerintahkan
manusia untuk menggunakan nalar, logika dan akalnya dalam memahami
perintah-perintah Allah.
“Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.” (QS. Az-Zumar : 42)
“Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi
kaum yang berakal.” (QS. Ar-Ruum : 24)
3. IJTIHAD DILAKUKAN OLEH RASULULLAH SAW
Rasulullah SAW adalah seorang utusan Allah SWT.
Beliau SAW secara umum memang menerima wahyu risalah dalam setiap kesempatan,
sehingga menjadi rujukan dalam agama.
Namun kalau kita teliti detail-detail sirah
nabawiyah, seringkali kita temui bahwa beliau terpaksa harus berijtihad,
lantaran wahyu tidak turun, tepat pada saat dibutuhkan.
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang
sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali :
"Insya Allah" . Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan
katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang
lebih dekat kebenarannya dari pada ini".” (QS. Al-Kahfi : 23-24)
Sebab turun ayat ini karena Rasulullah SAW
menjanjikan untuk menjawab pertanyaan orang-orang yahudi besok hari. Namun
jawaban wahyu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Entah kemana Jibril
yang biasanya rajin datang membawa wahyu. Ayat ini menegaskan bahwa ada kalanya
begitu dibutuhkan, wahyu menjadi tidak turun.
Rasulullah SAW berijtihad dalam kasus perbedaan
pendapat tentang menghentikan perang Badar atau meneruskannya hingga semua
lawan mati, Rasulullah SAW menggelar syura’ dengan para shahabat, lantaran
wahyu tidak kunjung turun. Beliau SAW meminta pandangan dari para shahabat,
kemudian berijtihad untuk menghentikan perang dan menjadikan musuh sebagai
tawanan.
Namun setelah itu ijtihad beliau SAW dianulir
oleh turunnya wahyu, yang melarang beliau SAW menghentikan perang dan mengambil
musuh sebagai tawanan.
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai
tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki
harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal : 67)
4. IJTIHAD DILAKUKAN OLEH PARA SAHABAT
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, banyak di
antara para shahabat yang melakukan ijtihad, baik atas perintah beliau SAW atau
pun atas inisiatif sendiri yang kemudian dibenarkan oleh beliau.
a. Muaz bin Jabal Diperintahkan Untuk
Berijtihad
Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ketika Rasulullah
SAW mengutusnya untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, telah diperintahkan
atau setidaknya direkomendasikan untuk berijtihad.
Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata
bahwa Nabi bertanya kepadanya," Bagaimana engkau memutuskan perkara jika
diajukan orang kepada engkau? Muaz menjawab, saya akan putuskan dengan kitab
Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab
Allah? Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah
bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak
pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan berijtihad dengan pemikiran
saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya
seraya bersabda,"Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari
utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR Abu Daud)
Apa yang menjadi tekad Muadz untuk berijtihad
mendapatkan legitimasi langsung dari Rasulullah SAW, terbukti bahwa beliau SAW
menepuk dada Muadz sambil memujinya.
b. Amr bin Al-Ash Dibenarkan Dalam Berijtihad
Amr bin Al-Ash telah melakukan ijtihad dalam
hal-hal yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai ganti dari wudhu', yaitu
karena faktor cuaca yang amat dingin.
Dari Amru bin Al-’Ash radhiyallahuanhu bahwa
ketika beliau diutus pada perang Dzatus Salasil berkata "Aku mimpi basah
pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka.
Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami
tiba kepada Rasulullah SAW mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau
bertanya "Wahai Amr Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub
?". Aku menjawab "Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh
dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu] maka aku tayammum
dan shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata
apa-apa. (HR. Ahmad Al-hakim Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).
Sepeninggal Rasulullah SAW pun para shahabat
masih tetap melakukan ijtihad, dimana hasil ijtihad itu dibenarkan oleh seluruh
shahabat yang lain dan terus berlangsung hingga sekarang ini.
c. Ijtihad Untuk Menulis Al Qur’an dalam Satu
Mushaf
Selama masa kenabian 23 tahun lamanya, belum
pernah sekalipun Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menuliskan Al
Qur’an dalam satu mushaf. Namun sepeninggal beliau, masih di masa Khalifah Abu
Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu, umat Islam sepakat untuk menuliskan Al
Qur’an dalam satu bundel mushaf.
Awalnya dari ide Umar bin Al-Khattab
radhiyallahuanhu yang disampaikan kepada khalifah, kemudian menjadi ijtihad
jama'i hingga hari ini. Maka mushaf Al Qur’an yang kita kenal saat ini, tidak
lain merupakan produk ijtihad para shahabat di masa lalu, yang tidak didasari
oleh perintah wahyu secara langsung.
5. PERUBAHAN ZAMAN
Sudah menjadi sunnatullah bahwa zaman selalu
mengalami perubahan. Apa yang berlaku di tengah masyarat untuk satu kurun waktu
tertentu, bisa saja berubah pada kurun waktu yang lain.
Oleh karena itu Islam membutuhkan orang-orang
yang mampu berijtihad dengan benar, agar perubahan zaman itu tidak lantas
membuat nash-nash dari Al Qur’an dan Hadits menjadi usang dan tidak terpakai.
Salah satu contoh bagaimana perubahan zaman
bisa berpengaruh pada perubahan ijtihad adalah kasus orang kaya yang wajib
membayar zakat sebagaimana diwajibkan di dalam Al Qur’an dan Hadits.
Tetapi dalam kenyataannya terjadi perubahan
siapakah yang dimaksud dengan orang kaya, antara zaman Rasulullah dengan orang
kaya di masa sekarang ini. Di masa Rasulullah SAW, orang kaya itu identik
dengan pedagang, peternak dan petani. Karena itulah kita menemukan syariat
zakat yang berlaku buat mereka.
Tetapi di masa sekarang ini, Indonesia yang
konon negara agraris dan kebanyakan rakyatnya berprofesi sebagai petani,
ternyata mereka bukan orang kaya. Para petani di Indonesia rata-rata justru
orang-orang miskin yang tidak punya. Biaya dan tenaga yang mereka keluarkan
untuk bertani seringkali lebih besar dari hasil pertanian itu sendiri.
Maka harus ada garis batas yang lebih akurat
dan tajam yang mampu membedakan antara petani kaya dan petani miskin. Yang
wajib zakat itu bukan asal petani, tetapi petani kaya, dengan segala syarat dan
ketentuan. Adapun orang miskin, meski pun profesinya petani, tentu tidak wajib
bayar zakat.
Sebaliknya, di masa Nabi SAW sudah ada pegawai
yang bekerja kepada tuannya dan menerima upah. Tapi rata-rata pegawai di masa
itu upahnya sangat kecil, hanya bisa sekedar untuk menyambung hidup saja. Maka
di masa Nabi SAW kita tidak menemukan perintah buat para pegawai untuk membayar
zakat, karena di masa itu rata-rata pegawai itu miskin.
Tetapi di masa sekarang ini, rata-rata pegawai
itu orang kaya, khususnya pegawai negeri sipil. Gaji mereka berlipat dan
kebutuhan hidup mereka sudah terpenuhi, bahkan gaji mereka ada banyak sisa.
Maka kalau pegawai di masa sekarang diwajibkan bersedekah, tentu sangat masuk
akal.
6. SEMAKIN LUASNYA NEGERI ISLAM
Ijtihad sangat dibutuhkan mengingat wilayah
negeri Islam sepeninggal Rasulullah SAW semakin meluas. Negeri yang penduduknya
tidak mengerti bahasa Arab, tiba-tiba mereka memeluk agama Islam. Syam, Persia,
Mesir dan Yaman di masa itu bukan bagian dari tanah Arab. Agama yang mereka
anut di masa itu pun bukan agama Islam. Budaya dan adat istiadat yang berlaku
di berbagai negeri itu nyaris 180 derajat berbeda dengan bangsa Arab. Makanan
pokok mereka pun tidak sama dengan yang dimakan bangsa Arab.
Sementara agama Islam yang 100% turun di tanah
Arab langsung kepada orang-orang dalam budaya Arab ini harus masuk ke berbagai
negeri yang baru dan jauh dari pola budaya dan kehidupan bangsa Arab.
Maka secara logika sudah bisa kita bayangkan
betapa nash-nash Al Qur’an dan Hadits harus berhadapan dengan realitas yang
belum pernah ada sebelumnya di masa Rasulullah SAW.
7. KETERBATASAN SUMBER SYARIAH
Meski Al Qur’an adalah kitab yang lengkap dan
tidak ada satupun masalah yang terlewat, namun bukan berarti Al Qur’an adalah
sebuah ensikopedi umum yang memuat materi apa saja.
Kenyataannya bila dibandingkan dengan
Ensiklopedi Britanica, jumlah ayat Al Qur’an terlalu sedikit, karena hanya
berkisar 6.000-an ayat saja. Encyclopedia Britannica 2010 memuat artikel dan
gambar hingga sekitar 100.000 item, dan tebalnya mencapai 32 jilid.
Tetapi sekali lagi adalah keliru kalau
kelengkapan materi Al Qur’an itu kita bayangkan seperti kelengkapan sebuah
ensiklopedi. Kelengkapan Al Qur’an itu maksudnya adalah bahwa Al Qur’an
memasuki banyak ranah kehidupan, di luar dari yang biasanya dikenal orang, pada
kitab-kitab suci terdahulu.
Al Qur’an bicara tentang banyak hal dalam
kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Tetapi Al Qur’an bukan
ensiklopedi yang membahas satu per satu tiap titik masalah.
Kalau memang Al Qur’an hanya bicara sekilas,
lalu bagaimana cara manusia bisa memahami detail-detail ketentuan dan kemauan
Allah SWT? Jawabnya adalah diutusnya Rasulullah SAW ke dunia sebagai penjelas
dari Al Qur’an, sekaligus untuk menjadi contoh hidup dari Al Qur’an. Persis
seperti komentar istri beliau SAW, Aisyah radhiyallahuanha, tatkala ditanya
tentang akhlaq beliau SAW.
“Akhlaq beliau adalah Al Qur’an.”
Namun kalau dijumlah secara total, tetap saja
jumlah hadits nabawi itu terbatas. Apalagi kalau kita batasi pada yang sudah
dishahihkan secara paten dan disepakati oleh para ulama hadits.
Imam Al-Bukhari hanya menyelesaikan 7 ribuan
hadits di dalam kitab Ash-Shahihnya, dengan pengulangan-pengulangan hadits
berkali-kali pada beberapa bab. Konon, seandainya hadits-hadits itu tidak
diulang-ulang, jumlahnya hanya sekitar 4 ribuan saja.
Sedangkan hadits-hadits yang telah dishahihkan
oleh Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih beliau juga terbatas pada sekitar 4
ribuan hadits, dengan ketentuan hadits-hadits itu tidak terulang-ulang dan
telah disepakati keshahihannya oleh para ulama.
Kalau kita teliti, rupanya hadits yang telah
tercantum di dalam Shahih Bukhari cukup banyak yang juga tercantum di dalam
Shahih Muslim, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa jumlah hadits shahih
di dunia ini menjadi 8 ribu butir.
Tetapi juga tidak benar kalau kita katakan
bahwa hadits yang shahih itu hanya terbatas pada kedua kitab Shahih itu saja.
Tentu masih banyak lagi hadits-hadits yang shahih, meski tidak tercantum pada
kedua kitab itu.
Akan tetapi meski demikian, tetap saja jumlah
hadits-hadits yang sudah dishahihkan secara paten dan disepakati keshahihannya
oleh para ulama memang terbatas. Kalau pun kita katakan ada 100 ribu hadits
misalnya, maka jumlah itu tentu sangat kurang untuk bisa menjawab semua
persoalan manusia sepanjang zaman, terhitung sejak masa Nabi SAW hidup hingga
datangnya hari kiamat nanti.
Sebab persoalan hidup manusia selalu
bermunculan, dimana mereka hidup di berbagai zaman dan peradaban yang juga
berbeda-beda. Selalu muncul fenomena baru di tengah umat manusia.
Padahal ayat Al Qur’an sudah berhenti turun,
dan hadits nabawi sudah tidak mungkin lagi bertambah. Lalu apakah cukup ayat
dan hadits warisan itu untuk menjawab semua problematika hukum syariah yang
ada?
Jawabnya tentu tidak cukup, kalau kita hanya
berpikir sekilas.
8. LUASNYA BIDANG KEHIDUPAN
Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat,
barangkali belum sama sekali terbayang bahwa agama Islam akan tersebar ke luar
batas-batas negeri Arab, bahkan menyeberangi benua dan lautan. Agama yang
awalnya hanya dipeluk oleh beberapa gelintir orang di Mekkah, dalam rentang
kurang dari seratus tahun kemudian menjadi agama nomor satu terbesar yang
dipeluk berjuta umat manusia.
Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu
memegang tongkat khilafah, Islam menyebar ke tiga imperium besar dunia, Romawi,
Persia dan Mesir. Berbeda dengan keadaan Mekkah Madinah yang terletak di tengah
gurun pasir jazirah Arabia, keadaan sosio kultural dan sosial politik di
negeri-negeri itu jauh lebih berkembang, maju, dinamis dan penuh inovasi.
Bidang kehidupan umat manusia pun semakin hari semakin luas dan dinamis.
Sehingga teks-teks baku yang terdapat pada dua sumber agama tidak akan bisa
menjawab secara langsung apa adanya semua masalah itu.
Sebenarnya tanda-tanda akan semakin dinamis dan
jauhnya teks-teks Al Qur’an dan Hadits dari realitas kehidupan masyarakat dunia
sudah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Ketika beliau SAW menguji
shahabatnya saat diutus ke Yaman dengan pertanyaan:
”Dengan apa kamu putuskan perkara di antara
mereka bila tidak ada di dalam Al Qur’an dan Hadits?”.
Pertanyaan ini bukan sekedar menguji main-main,
melainkan sebuah pertanyaan yang mengandung pernyataan sekaligus. Intinya,
Rasulullah SAW menegaskan bahwa akan ada banyak perkara yang secara eksplisit
tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadits di dalam kehidupan ini.
Dan saat itulah dibutuhkan tindakan ijtihad,
yang pada intinya tetap berpegang teguh kepada kedua sumber agama, Al Qur’an
dan Hadits, namun dicarikan kesamaan ‘illat yang tepat dan mendekati kebenaran
antara dalil-dalil syar’i dengan realitas yang ada.
Karena itulah tindakan menolak ijtihad
sesungguhnya adalah tindakan mustahil, sebab teks-teks syariah itu akan
terbata-bata ditinggal oleh perkembangan zaman. Ijtihad para ulama itulah yang
membuat Al Qur’an dan Hadits menjadi serasa baru dan segar.
9. KRITIK HADITS
Pada dasarnya, meneliti keshahihan suatu hadits
tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari ijtihad. Di masa lalu, para
mujtahid sudah bisa dipastikan adalah juga seorang ahli hadits yang keahliannya
termasuk meneliti dan mengkritik hadits. Dengan kata lain, studi kritik hadits
(naqd hadits) adalah bagian dari ijtihad yang mutlak harus dilakukan oleh semua
mujtahid dan ahli fiqih.
Seorang Abu Hanifah rahimahullah bukan saja
ahli fiqih melainkan beliau juga seorang ahli di bidang kritik hadits. Beliau
amat terkenal sangat ketat dalam menyeleksi hadits, sehingga bila beliau tidak
berada pada posisi amat sangat yakin akan keshahihan hadits, tidak akan pernah
dijadikan sebagai dasar dalam ijtihad.
Demikian juga Al-Imam Malik rahimahullah, meski
beliau pendiri mazhab Maliki yang terkenal itu, namun pada hakikatnya beliau
adalah seorang ahli hadits yang amat paten dan kampiun. Beliau sendiri punya
kitab Al-Muwaththa’, yang di zamannya adalah kitab hadits paling populer dan
paling tinggi kedudukannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga seorang
ahli hadits, dimana beliau punya kitab karya di bidang ilmu hadits dan kritik
hadits. Pengembaraan beliau ke hampir seluruh jagad dunia Islam membuktikan
bahwa beliau selain ahli fiqih, juga seorang ahli hadits. Bahkan di usia 15
tahun beliau sudah menghafal luar kepala kitab Al-Muwaththa’ karya guru beliau,
Al-Imam Malik.
Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim adalah dua
orang ahli hadits di masa berikutnya, dimana kedua bermazhab Asy-Syafi’iyah.
Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
bahkan lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang ahli fiqih dalam beberap
persolaan. Musnad Ahmad adalah salah satu nama yang akrab dikenal sebagai karya
beliau sebagai ahli hadits.
Demikian beberapa landasan mengapa kita masih
membutuhkan ijtihad yang dilakukan dengan benar, sesuai dengan kapasitas yang
baku.
Sumber:
1. Al Qur'an
1. Al Qur'an
2. Hadits
3. Beberapa narasumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar